Lewati ke konten utama

Penebangan Hutan Bukan Penyebab Banjir Sumatera November 2025

· Satu menit membaca

Penebangan hutan bukan satu-satunya penyebab banjir Sumatera pada November 2025. Yang benar adalah penebangan hutan di Sumatera hanyalah salah satu dari sekian banyak kontributor efek rumah kaca yang memperbesar peluang terjadinya bencana alam seperti banjir di Sumatera, Malaysia, Thailand dan Srilanka pada akhir tahun 2025.

Ilustrasi

Berdasarkan yang saya pahami, curah hujan di daerah bencana sebegitu tinggi, dan seandainya lokasi adalah hutan belantara murni pun, maka tidak akan sanggup menyerap air hujan sebanyak itu. Jadi, penebangan hutan hanyalah faktor yang memperparah situasi. Seandainya sama sekali tidak ada penebangan hutan, hal tersebut tidak akan mampu 100% mencegah terjadinya bencana banjir tersebut.

Bencana ini dipicu oleh badai tropis Senyar yang sangat jarang terjadi. Semakin dekat khatulistiwa, maka semakin jarang terjadi badai tropis. Namun, badai tropis Senyar terjadi hanya sekitar 3° dari khatulistiwa, lebih dekat ke khatulistiwa daripada Pulau Jawa.

Bahan Bakar Ajaib dan Produk Sejenisnya

· Satu menit membaca

Setiap beberapa tahun ada saja produk-produk ajaib berupa bahan bakar murah, penghemat bahan bakar, atau pernak-pernik lain yang menjanjikan harga murah, peningkatan efisiensi bahan bakar kendaraan bermotor, atau klaim lainnya.

Polanya selalu sama: di awal penuh dengan euforia dan antusiasme, namun diakhiri dengan kekecewaan karena hasilnya sama sekali tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

./bbm.jpeg

"Pahlawan" dan "Jasa"-nya

· Satu menit membaca

Berdasarkan data-data, "jasa" "pahlawan" Indonesia tidak "sehebat" "pahlawan" negara lain. "Pahlawan" Indonesia bahkan tidak masuk dalam 10 besar daftar "pahlawan" seluruh dunia. "Jasa" "pahlawan" Indonesia masih jauh di bawah "pahlawan" China, "pahlawan" Rusia, dan "pahlawan" Jerman yang ketiganya merupakan tiga besar "pahlawan" dunia sejak awal abad ke-20.

./pahlawan-nomor-satu.jpeg

The Act of Killing

· Satu menit membaca

Selama lebih dari satu dekade, antara tahun 1984 sampai 1998, menonton film "Pengkhianatan G30S/PKI" dapat dikatakan adalah kewajiban bagi warga negara Indonesia. Pemerintah Orde Baru menggunakan film ini sebagai alat propaganda untuk melakukan glorifikasi terhadap penguasa saat itu, dan untuk menutupi kekejaman yang dilakukan oleh militer dan kelompok paramiliter pro-militer terhadap rakyat Indonesia yang terjadi pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Walaupun sekarang kita tahu bahwa film tersebut adalah propaganda, proses brainwashing bertahun-tahun ternyata masih mempengaruhi perilaku kita sampai sekarang, baik disadari atau tidak. Sebagai penawarnya, saya merekomendasikan film dokumenter "The Act of Killing".

Istilah 'Buzzer' di Politik Adalah Buatan Lokal, Bukan Istilah Bahasa Inggris

· Satu menit membaca

Dalam konteks politik Indonesia, istilah 'buzzer' digunakan untuk merujuk pada pihak-pihak yang mendapatkan imbalan finansial untuk menyebarkan pesan politik di media sosial.

Walaupun 'buzzer' adalah kata yang diambil dari bahasa Inggris, penggunaannya dalam konteks politik di Indonesia adalah hasil adaptasi lokal dan bukan istilah yang umum digunakan dalam bahasa Inggris.

Buzzer

Negara Adalah Alat Politik, Bukan Tujuan Akhir Itu Sendiri

· Satu menit membaca

Saat perang kemerdekaan, kita perang memperjuangkan kebebasan dan keadilan sosial. Untuk membedakan siapa di pihak kita dan siapa di pihak lawan, kita menggunakan institusi negara beserta simbol-simbolnya. Mereka yang berbendera merah putih kita anggap sebagai kawan yang sama-sama mencari kebebasan, dan mereka yang berbendera merah putih biru adalah agresor.

Masalahnya adalah ketika kita terjebak memperlakukan negara dan simbol-simbolnya seakan itu adalah tujuan akhir. Kemudian simbol-simbol tersebut bagi kita hanya sekadar menjadi alat untuk membedakan mana yang in-group dan mana yang out-group.

Menilai Pemuka Agama Melalui Teori Evolusi

· Satu menit membaca

Pemuka agama itu bermacam-macam. Ada yang mengajarkan kebaikan, namun tak sedikit yang tidak. Bagaimana kita bisa menilai mereka? Saya menggunakan teori evolusi sebagai alat untuk memprediksi kualitas pemuka agama.

Saya pribadi mengklasifikasikan pemuka agama menjadi tiga tipe:

  1. Pemuka agama yang menolak teori evolusi.
  2. Pemuka agama yang menghindari membahas teori evolusi.
  3. Pemuka agama yang mampu menerima teori evolusi.

Yang paling ideal di sini tentunya adalah tipe ketiga. Metode penilaian yang saya lakukan ini adalah heuristika yang hampir selalu konsisten. Pemuka agama tipe 3 hampir dapat dipastikan memiliki pengetahuan luas, baik dalam bidang agama maupun sains. Mereka pun secara konsisten mengajarkan kebaikan, tidak menyebarkan kebencian, serta jarang menggunakan emosi untuk mempengaruhi orang lain.

Di sisi lain, pemuka agama tipe 1 hampir dapat dipastikan menggunakan emosi untuk mempengaruhi umatnya. Bukan hanya dalam menolak teori evolusi, tetapi juga hal-hal lain.

Duduk Bersila

· Satu menit membaca

Saya memiliki masalah dengan posisi duduk bersila, apalagi dalam waktu lama. Jika dilakukan cukup lama, maka kaki akan kesemutan, kepala pusing, dan mata berkunang-kunang.

Dulu pernah mendapat guru agama yang selalu memaksakan siswa-siswanya untuk duduk bersila dengan postur yang tertib. Jika selonjoran, kaki tidak dilipat, atau lutut dinaikkan, maka dianggap tidak sopan, dan akan ditegur atau bahkan mendapatkan hukuman.

Duduk Bersila