Negara Adalah Alat Politik, Bukan Tujuan Akhir Itu Sendiri
Saat perang kemerdekaan, kita perang memperjuangkan kebebasan dan keadilan sosial. Untuk membedakan siapa di pihak kita dan siapa di pihak lawan, kita menggunakan institusi negara beserta simbol-simbolnya. Mereka yang berbendera merah putih kita anggap sebagai kawan yang sama-sama mencari kebebasan, dan mereka yang berbendera merah putih biru adalah agresor.
Masalahnya adalah ketika kita terjebak memperlakukan negara dan simbol-simbolnya seakan itu adalah tujuan akhir. Kemudian simbol-simbol tersebut bagi kita hanya sekadar menjadi alat untuk membedakan mana yang in-group dan mana yang out-group.
Paradigma Grup Minimal
Pada tahun 1970-an, ilmuwan Henri Tajfel melakukan beberapa eksperimen yang dikenal sebagai paradigma grup minimal. Eksperimen ini melibatkan beberapa subjek, yang dibagi menjadi dua grup dengan kriteria remeh, yang tidak relevan dan tidak ada artinya. Misalnya, subjek dibagi menjadi dua grup berdasarkan warna yang disukai, merah atau biru.
Setelah itu, subjek diminta untuk memberikan hadiah kepada peserta lain. Hasilnya, subjek cenderung memberikan hadiah yang lebih banyak kepada anggota grupnya sendiri, walaupun mereka dipersatukan oleh hal remeh seperti sama-sama menyukai warna biru.
Tribalisme
Sifat tersebut adalah yang mendasari tribalisme. Zaman dahulu, manusia purba yang dapat hidup berkelompok memiliki peluang bertahan hidup yang lebih besar. Sekonyol apa pun konsep yang dapat mempersatukan mereka, hal tersebut akan membantu mereka bertahan hidup. Manusia yang tak memiliki sifat tersebut memiliki peluang lebih kecil untuk bertahan hidup dan akan punah. Yang tersisa hanyalah manusia yang memiliki sifat tersebut, dan sifat tersebut diwariskan sampai sekarang, menjadi bagian dari diri kita.
Di zaman modern, sifat tersebut dapat dikatakan vestigial. Kita masih memiliki sifat tersebut, tapi manfaatnya terhadap kelangsungan hidup umat manusia semakin berkurang. Dalam beberapa kasus bahkan merugikan. Sifat tribalisme tak terkendali menyebabkan politik ekstrem kanan yang berbahaya dan tak lagi sesuai dengan perkembangan nilai di zaman modern. Sifat ini juga menghambat kita untuk mengatasi masalah-masalah dunia yang membutuhkan kerja sama dari kelompok-kelompok yang berbeda di seluruh dunia.
Hubungannya Dengan Kewarganegaraan
Dalam konteks kewarganegaraan, negara dan simbol-simbolnya seperti bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, dan atribut-atribut lainnya adalah konsep pemersatu. Kita membedakan mana yang kelompok kita dan mana yang bukan menggunakan simbol-simbol tersebut, terkadang tanpa memperhitungkan apakah memang ada nilai yang diwakili oleh simbol tersebut, ataukah hanya sekadar simbol yang abstrak.
Kita merasa adalah hal lumrah menghormati secarik kain dengan corak dan warna tertentu, sambil menyanyikan sebuah lagu dengan bangga. Orang-orang di negara lain juga melakukan hal yang sama, hanya berbeda corak & warna kain, dan juga lagunya.
Jika ada alien yang mengamati kita dari luar angkasa, mereka akan melihat kita dengan cringe, sama seperti saat kita melihat suku terbelakang menggunakan totem dan ritual tarian untuk membedakan suku mereka dari suku lain.
Simbol Bukanlah Hal Yang Diwakili Simbol Tersebut
Anak-anak diajarkan bahwa mempertaruhkan nyawa untuk mencari secarik bendera ke dalam hutan belantara adalah hal yang positif, bukan sesuatu yang konyol. Padahal bendera hanyalah sesuatu yang bisa dibeli dan dibuat kembali dengan mudah, tanpa mempengaruhi apapun.
Apa bedanya dengan misalnya insiden Hotel Yamato? Saat itu dalam situasi hampir perang. Orang-orang yang merobek bendera tersebut melakukannya bukan karena benderanya bukan merah putih, tapi karena sesuatu yang diwakili oleh bendera tersebut.
Mempersamakan simbol abstrak seperti bendera dengan hal konkret yang diwakilinya adalah cacat logika yang dinamakan reification fallacy.
Kompetisi Dengan Simbol Lain
Bukan tidak mungkin terdapat simbol lain yang mewakili ide yang sama dengan yang (seharusnya) diwakili oleh simbol negara. Namun jika kita terjebak menganggap bahwa simbol negara adalah tujuan akhir, kita akan keliru menganggap simbol lain tersebut sebagai kompetitor. Yang penting tentunya bukan simbol apa yang digunakan, tetapi apa tujuan yang diwakili oleh simbol tersebut.
Ultranasionalisme di Indonesia
Indonesia adalah negara yang sangat nasionalis, yang merupakan ciri khas dari negara-negara yang memerdekakan diri dari kolonialisme. Terlebih lagi, saat perang dingin, pihak barat menggunakan ultranasionalisme sebagai alat untuk melawan komunisme di Indonesia. Hasilnya, selama puluhan tahun, negara kita dikuasai oleh kediktatoran sayap kanan.
Dengan penguasaan rezim ekstrem kanan yang militeristik, maka diterapkanlah berbagai sistem pengkultusan dan penghormatan berlebihan terhadap simbol-simbol negara. Setelah runtuhnya rezim tersebut, terdapat banyak ritual yang tidak lagi dilakukan, namun saat ini masih bisa kita temukan sisa-sisa peninggalan zaman tersebut, seperti misalnya kewajiban upacara bendera, kewajiban menyanyikan lagu kebangsaan secara berlebihan, dan pemasangan foto presiden di institusi pendidikan dan pemerintahan.
Itu adalah hal-hal yang akan terlihat cringe dari sudut pandang kebanyakan orang di luar negara kita, bahkan dari sudut pandang warga negara yang dulunya meng-install rezim kanan di negara kita sekali pun.
Terus Gimana?
Progress tidak bisa dipaksakan, tetapi harus dilakukan secara perlahan, dimulai dari diri kita sendiri. Dapat dikatakan dalam hal ini negara memang sedang mengalami regression. Namun hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, dan lebih merupakan perkembangan global yang terjadi di seluruh dunia, jadi kita tidak perlu berkecil hati.
Keterikatan kita dengan simbol-simbol abstrak, termasuk simbol negara, adalah kelemahan kita sebagai manusia, namun kita dapat meminimalkan dampaknya dengan menyadari hal tersebut.
Tetap fokus pada idealisme di balik simbol tersebut, seperti kebebasan, keadilan, dan persamaan hak. Waspada terhadap pihak yang ingin menyalahgunakan simbol-simbol negara sebagai sumber kekuasaan dan untuk kepentingan mereka sendiri, apalagi jika bertentangan dengan nilai-nilai sesungguhnya yang berada di balik simbol tersebut. Waspada terhadap pengkultusan dan pemujaan berlebihan terhadap simbol-simbol negara.
Merdeka!
Merdeka adalah terlepas dari keterikatan psikologis terhadap simbol-simbol semata, yang jika berdiri sendiri hanyalah sesuatu yang abstrak, dan hanya efektif sebagai alat untuk membedakan mana orang kita dan mana orang lain.
Merdeka adalah berusaha memperlakukan pihak lain yang mengenakan simbol berbeda dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan orang-orang yang mengenakan simbol yang sama dengan kita, tanpa diskriminasi, tanpa prasangka.
Merdeka adalah menyadari bahwa negara adalah sebuah alat politik yang kita gunakan untuk memperoleh idealisme bagi kita sebagai bagian dari umat manusia, namun bukanlah tujuan akhir itu sendiri.